Face & Voice Claim |
---|
Myoui Mina |
‹ Profil. ›
┋❁ | ❁ ┋ |
---|---|
Real Name | Kanigara Sharena Adirajada |
Nick Name | Sharena (Rara) |
Place of Birth | Yogyakarta, Indonesia. |
Date of Birth | November 17, 1997. |
Nationality | Indonesian. |
Current Place | - |
Address | - |
Religion | - |
Horoscope | - |
Chinese Zodiac | - |
Occupation | Student majoring in Architecture. |
Status | Alive. |
┋❁ | ❁┋ |
---|---|
Blood Type | B+ |
Height | 163 cm |
Weight | 45 kg |
Hair Type | Long, wavy |
Hair Color | Currently Dark Brown |
Eyeѕ Color | Obsidiant |
Skin Color | Beige |
Shoes Size | 37 |
Charming | Her lips |
‹ Personality. ›
‹ Story. ›
The Story of Ballerina
Ada yang tak kembali sewaktu sang Rawi berkuasa di atas segalanya.
Entah harus merasa apa.
Sesal atau lega, aku tak mengerti.
Mungkin aku harus merasa lega, merasa beruntung sebab bukan sukma yang lebur petang lalu.
Atau, haruskah aku merasa sesal, lantaran rasian nan dianyam sejak dulu bersepai dalam sekejap.
Angan menjauh, tandas bersama serpih memori yang berkelebat cepat di dalam benak. Sebelum segala sesuatunya menjadi gelap.
Bimbang menggelayut raga, sedang benak terus berpikir. Segala yang kupunya telah berserak.
Takdir seolah telah menjatuhkan vonis final bahwa aku kalah. Dua kali telah diperingatkan untuk menyerah perihal mimpi yang sampai sekarang pun tak pernah kantongi persetujuan.
Mama, satu-satunya orang yang bahagia ketika aku menetapkan pilihan. Ketika aku berkata bahwa aku akan lanjutkan mimpinya.
Tak masalah katanya. Walau bukan seni tari tradisional yang kuinginkan, setidaknya darah seni pun masih mengalir dalam nadiku, diturunkan dari Eyang Buyut keluarga Mama.
Ya, baiklah. Aku laksanakan, sebab aku pun tak menolak lantaran aku memang senang. Seolah-olah ini memang jalan takdir yang diberikan untukku.
Namun nyatanya, semenjak aku duduk di bangku sekolah menengah, Papa dengan tegas memberi perintah untuk tak lagi lanjutkan mimpiku.
Aku bertanya, “Kenapa?”
“Bidang itu nggak menjamin masa depanmu. Tidak pasti berapa keuntungan yang akan didapat dari menekuni bidang tersebut. Bukankah lebih baik melanjutkan ke bidang yang berguna untuk perusahaan? Kamu nggak mau mengikuti jejak Papa, jadi Arsitek?” katanya.
Bukankah sudah kubilang, ini mimpiku—keinginanku. Kenapa aku harus diatur lagi untuk menentukan cita-citaku? Apakah mungkin mereka juga mengatur bagaimana kehidupanku berakhir?
Tidak adil. Aku bahkan sudah jatuh terlalu dalam pada ballet, dan Anda tega memutus rajutan rasian yang dianyam perlahan dengan sungguh-sungguh.
‘Bang—’